[Sneak Peek] Be My Forever

Halo!

Terima kasih sudah mengikuti Forever Series. Be My Forever merupakan buku ketiga dari rangkaian seri ini. Bercerita mengenai Neo dan Ilona. Semoga kalian menyukainya seperti aku yang menyukai setiap kata yang kutuliskan.

***

 

 

Be my forever copy

Ilona.

 

Seperti sudah lama sekali sejak terakhir kali kita bertemu.

Continue reading

[Fragmen] Now and Forever

Fragmen 1 copy

[SEVA]

“Kamu selalu cantik dengan kebaya, Sev.”

“Kamu selalu gombal ya dari dulu,” ujarku. “Semoga anak kita nggak senarsis kamu.”

Ia tertawa riang. “Sayangnya harapanmu sepertinya nggak akan terkabul, Sev. Berdoa saja semoga kadarnya nggak lebih besar dariku.”

Tawanya menulariku. Entah hanya aku atau orang lain juga bisa melihatnya, setiap kali ia tertawa, wajahnya selalu tampak bersinar. Seolah-olah lelucon yang ia tertawakan memang mampu membahagiakannya.

Kemudian ia menggenggam tanganku dengan erat. Genggamannya kubalas sama eratnya. Jemarinya yang membawa rasa hangat di permukaan kulitku mengisi sela-sela jemariku dengan begitu pas. Kalau hari ini ia bilang aku cantik dengan kebayaku, maka aku takkan ragu untuk mengatakan bahwa ia tampan dengan setelan jasnya.

Sambil kami berjalan menuju keluargaku yang sedang bersenda gurau, Ren tersenyum ke sekitar. Sepertinya ia senang dengan dekorasi acara hari ini. Area outdoor resort yang terletak di Bogor ini memang sangat pas untuk resepsi sederhana seperti yang kuinginkan.

“Aku senang bisa berada di sini, Sev.” Ia berbisik di telingaku, supaya aku dapat mendengar jelas kata-katanya di balik ingar bingar pesta resepsi pernikahan ini.

“Aku juga senang kamu ada di sini, Ren. Senang sekali.”

“Terima kasih, karena telah menjadi jawaban dari doa-doaku di setiap malam.”

Aku tersenyum. Memang tak ada yang lebih membahagiakan dari menjadi jawaban atas doa-doa yang dipanjatkan oleh seseorang di setiap malamnya.

***

Fragmen 2 copy

[SEVA]

Selain bertujuan untuk belanja, sepertinya di hari Minggu ini Ganis berniat untuk mengajakku jalan-jalan. Mungkin ia sudah lelah melihat aku yang selalu muram bahkan dari radius sepuluh meter.

Mobil matic Ganis melaju di jalan raya dengan kecepatan standar. Sesekali arus jalan raya tersendat karena para turis yang menyeberang dari satu toko souvenir ke toko lainnya.

Om Calvin memutuskan untuk tinggal di Uluwatu sejak menikah, membesarkan kedua anaknya sampai saat ini tanpa berniat untuk pindah ke Jakarta. Sekali pun dulu saat Ganis masih kecil, Ganis pernah merengek selama satu bulan untuk pindah ke Jakarta.

Jakarta ramai, nggak pernah tidur, Pa.

Kira-kira seperti itulah jawabannya. Om Calvin jelas saja menolak. Sampai akhirnya aku tahu ketika aku sudah beranjak besar, bahwa keputusan Om Calvin memang benar. Bali lebih menenteramkan dibanding Jakarta. Sekali pun aku masih semuram ini dan masih bermimpi buruk, tapi setidaknya aku tak harus menahan perih setiap kali diharuskan berada di Jakarta yang penuh kenanganku dengan Ren.

Ren lagi, Ren lagi.

“Kak Seva yakin mau pindah ke Balikpapan?”

Pertanyaan Ganis membuatku terkekeh. Masih dengan kepala yang bersandar pada jendela mobil, aku menjawab, “Kamu udah nanya lebih dari sepuluh kali lho, Ganis.”

Ganis hanya mengedikkan bahu. “Orang sana mungkin banyak banget yang mau pindah ke Jakarta, Kakak malah sebaliknya.”

“Jakarta itu … terlalu penuh dan ramai, Ganis.”

“Justru itu yang jadi alasanku mau pindah ke Jakarta,” gumam Ganis, sepertinya ia juga teringat saat ia dulu merengek ingin pindah ke Jakarta.

“Kalau Kakak penat di Jakarta, kenapa saat Kakak di sini Kakak nggak jalan-jalan?” tanya Ganis lagi. Sepertinya ia benar-benar ingin tahu. “Hampir dua minggu, Kakak cuma jalan-jalan ke pantai paling dekat dari rumah. Sisanya, ikut Papa ke ARTic sama di rumah aja.”

“Menghilangkan penat nggak harus hanya dengan wisata kok.”

Aku menegakkan tubuhku. Sebentar lagi kami sampai di supermarket yang paling sering dikunjungi oleh Ganis.

Pembicaraan kami terhenti sejenak, tapi hal itu membuatku memikirkan kembali pertanyaan Ganis.

Pertanyaan tersebut sebenarnya sudah ditanyakan oleh Om Calvin, Tante Ghea, Tyo, Ganis, bahkan Mbak Asih, yang ikut denganku ke Balikpapan karena ia sudah tak punya siapa-siapa lagi.

Kalau aku jalan-jalan selayaknya turis, justru hal itu akan membuatku memiliki banyak waktu untuk memikirkan Ren. Daripada melakukan upaya ‘bunuh diri’ seperti itu, lebih baik aku belajar dengan Om Calvin di kantornya atau belajar memasak dengan Tante Ghea di rumah.

Kadang-kadang terpikir selintas olehku, betapa menyeramkannya ‘waktu’ yang kita miliki. Terkadang di saat kita sedang bahagia, waktu terasa sangat singkat dan kita akan selalu meminta lebih. Namun, di saat kita sedang sedih atau terluka, waktu seperti mengejek kita dengan memperlambat jalannya. Membuat kita justru makin melukai diri kita sendiri dengan waktu yang akhirnya kita gunakan untuk memikirkan dia, yang melukai kita tanpa berpikir dua kali.

***

Tentang Perasaan yang Semestinya Diberhentikan

Kadang aku berpikir, buat apa aku mencintaimu kalau pada nyatanya kehadiranku pun ganjil di matamu.

Kadang aku berpikir, buat apa aku berusaha menghentikan perasaan ini jika dulu aku memulainya dengan menggebu

 

Kadang pula aku tak pernah berpikir

 

Mungkin itu yang membuatku bodoh, juga abai terhadap keenggananmu

 

Ada saatnya di mana aku menyerah. Berusaha belok kanan supaya tak bertemu lagi denganmu

Sebab kau memilih belok kiri

Kemudian kita bertemu di persimpangan

 

Kau buang muka, seperti sediakala. Di mana kehadiranku adalah ganjil di matamu

Sedangkan kau adalah genap di hidupku

 

Namun persoalannya bukan lagi genap dan ganjil yang berpisah jalan

Ketika kau akhirnya datang lagi karena memilih jalan kecil untuk memotong jalan yang kutempuh

 

Kemudian kau datang lagi, kini berjalan di sisiku

Berlaku seperti semua yang selama ini terjadi bukanlah ‘apa-apa’

Kau menetap di sisiku, berjalan bersamaku, menjadikanku genap

Meninggalkan keganjilan yang dulu selalu ada di matamu

 

Kadang aku berpikir, kenapa kau bisa seperti ini?

Perkara mencintaimu adalah perkara sulit

Sebab kau datang dan pergi berkali-kali, sebab kau lihat atau tidak melihatku,

nyatanya aku tetap mencintaimu

 

Kadang aku berpikir, saat kau datang seperti ini, mungkin pada akhirnya memang kaulah yang menggenapkanku

Menjadikan ganjil di matamu bukan lagi tembok penghalang

 

Tapi, kadang aku tak berpikir

 

Jadi ketika aku mulai nyaman dengan ini semua, kau memutuskan untuk melewati jalan pintas lainnya

Kali ini untuk meninggalkanku, lagi

 

Sayang, andai perasaan seperti langkah yang bisa kita kendalikan, mungkin aku sudah memberhentikannya sejak lama

 

Saat ini sepertinya adalah jalan buntunya, di mana aku harus putar balik dan mencari jalan lain

Kali ini aku yang akan melangkah menjauh darimu, lagi

Karena ini tentang perasaan yang semestinya diberhentikan

Bukan diteruskan hanya untuk mendapat luka

 

Dari aku,

yang pernah menulis cerita dengan namamu

menggunakan nama dengan dua kata yang nama awalnya menggunakan huruf awal nama tengahku yang asli

yang menulis dengan menunggu apa langkah yang kau ambil

yang kau lupakan, tentunya

Derai Air yang Mengabarkan Kematian

Rain-Scene-On-Bulbs.jpg

 

Hujan mengabarkan kematian

Yang jadi saksi adalah tanah yang terempas air hujan

Bau tanah mengabarkan ke semua daratan

Bahwa ada jiwa yang pergi tak tahu ke mana

Siapa yang tahu tujuan roh selanjutnya ke mana

Siapa yang tahu kapan derai air mengabarkan kematian

Awan kelam jadi pertanda

Bau tanah jadi pelengkap

Sesungguhnya tak ada yang abadi di dunia

Derai air yang mengabarkan kematian

Bukan hanya hujan yang sudi untuk berkabar

Tangis di pelupuk mata Bunda jadi si pembawa kabar

Bahwa Ayah telah sudi meninggalkan keluarganya.

Bogor, 6 Maret 2016.

Ketika kau dikecewakan oleh harapanmu sendiri, tenanglah, Sayang.

Kau tak sendirian.

Ada aku, yang diam di sudut sambil mengharapkanmu untuk berbalik, kepadaku.

Ketika Kau Berbisik….

wVlfnlTbRtK8eGvbnBZI_VolkanOlmez_005

Aku menatap ke sekelilingku.

Cahaya yang ada di kamarku nyaris tak ada. Mataku hanya mengandalkan penerangan dari lampu lorong di luar kamarku.

Orang terakhir yang masuk ke kamarku pasti memilih mematikan lampu saat aku tertidur. Padahal aku sudah bilang berkali-kali, aku tak suka tidur dengan gelap seperti ini.

Tapi, ya sudah. Mereka memang tak pernah mendengarkanku.

Ayo tidur, Cattleya.

Aku menoleh, di mana seseorang sudah duduk di kursi yang ada di samping ranjangku. Suaranya nyaris tak terdengar. Hanya bisikan lirih namun merdu. Suara baritonnya begitu menenangkan. Continue reading

Jomblo United against the world!

Foto di masa-masa suram... Eh, masa SMA.

Foto di masa-masa suram… Eh, masa SMA.

Ini pagi pertama tour sekolah ke Jogja. Belum pada mandi semua. Soalnya berangkat dari Cibinong jam 10 malem. Huahahaha.

Ini pagi pertama tour sekolah ke Jogja.
Belum pada mandi semua. Soalnya berangkat dari Cibinong jam 10 malem. Huahahaha.

Ini di Candi Borobudur. Masih dalam rangka tour sekolah.

Ini di Candi Borobudur. Masih dalam rangka tour sekolah.

Najong. Sok turis. Di Keraton pada pake kacamata item (kecuali Icha).

Najong. Sok turis. Di Keraton pada pake kacamata item (kecuali Icha).

Ini pas di Candi Prambanan.....

Ini pas di Candi Prambanan…..

 

Hello!

Wah, tumben-tumbenan ya gue ngepost tentang JU? Huehehehe.

Jadi, ada yang tau JU itu apa? Yap, Jomblo United alias JU ini salah satu judul cerita gue yang DIGANTUNGKAN DENGAN SENGAJA (bhahahahaha) di Wattpad.

Tapi sebenernya, JU adalah kumpulan empat cewek yang pastinya JOMBLO.

Mengenaskan?

Nggaklah, kan ngejomblonya bareng-bareng.

Besok, 31 Juli 2015, adalah hari perayaan terbentuknya JU. Udah dua tahun kita bareng-bareng. Dari yang tadinya baru-baru kenal sampe sekarang ogah kenal saking mereka malu-maluinnya. Bhak.

***

Continue reading

Perempuan Itu Hari Ini Menangis Karena Perpisahan….

01885_HDSemuanya terasa biasa-biasa saja hari ini. Hanya sedikit mendung dan gerimis—hal-hal yang kunantikan sejak satu setengah bulan yang lalu. Iya, sejak satu setengah bulan yang lalu daerahku terasa gersang. wedding rings

Namun bukan itu yang membuatku tiba-tiba menulis ini.

***

Siang ini semua berjalan biasa-biasa saja. Adikku masih bermalas-malasan selagi menunggu jam dua siang untuk berangkat kerja, aku masih asyik menulis, sedangkan mamaku ternyata sedang menelepon entah siapa. Tapi dari isi bahasan serta gaya bicaranya, aku tau ia berbicara dengan siapa.

Continue reading

Ada Perbedaan yang Tak Bisa Menyatukan

Selamat sore, Tuan A.

Sudah lama sejak terakhir kali aku menulis untukmu. Semoga yang ini yang terakhir ya.

Sudah lama juga sejak terakhir kali kita benar-benar bicara.

Tapi ya sudah, tidak usah diingat-ingat lagi. Aku sedang berusaha untuk tidak selalu memikirkan hal-hal yang telah kulalui.

Tiba-tiba hari ini benakku dipenuhi olehmu. Dipenuhi tentang kenangan yang aku punya tentang dirimu. Untuk kali ini aku sadar, terlampau banyak perbedaan di antara kita.

09450_HD***

Continue reading

How do I know I have fallen in love

Siang sampai sore ini, gue akhirnya membagikan rahasia yang hanya diketahui oleh dua orang selain diri gue sendiri dan Tuhan. Sekarang, jadi ada tiga orang yang tahu. Orang ketiga ini adalah Rheza. Hahaha.

Akhirnya dia tahu salah satu tindakan gila gue. Nggak perlu gue ceritain kali ya rahasia gue di sini. Tapi, ini berhubungan dengan tulisan, orang yang gue suka, dan otak gue yang gila.

Continue reading