Ada Perbedaan yang Tak Bisa Menyatukan

Selamat sore, Tuan A.

Sudah lama sejak terakhir kali aku menulis untukmu. Semoga yang ini yang terakhir ya.

Sudah lama juga sejak terakhir kali kita benar-benar bicara.

Tapi ya sudah, tidak usah diingat-ingat lagi. Aku sedang berusaha untuk tidak selalu memikirkan hal-hal yang telah kulalui.

Tiba-tiba hari ini benakku dipenuhi olehmu. Dipenuhi tentang kenangan yang aku punya tentang dirimu. Untuk kali ini aku sadar, terlampau banyak perbedaan di antara kita.

09450_HD***

Continue reading

Pemenang Giveaway Review Marathon “Wedding Rush”

Wedding Rush Banner

Heihooo!

Sebelumnya, aku mau minta maaf karena keterlambatan pengumuman ini. Dikarenakan sejak tanggal 28 Mei kemarin aku mudik dan baru pulang tanggal 3 Juni. Terus ada acara kencan sama lelaki-yang-membuatku-terjebak-friendzone-tak-berkesudahan heh, kok malah curhat. dan akhirnya kuotaku habis. T.T Jadi baru bisa posting sekarang, huhuhu.

Continue reading

How do I know I have fallen in love

Siang sampai sore ini, gue akhirnya membagikan rahasia yang hanya diketahui oleh dua orang selain diri gue sendiri dan Tuhan. Sekarang, jadi ada tiga orang yang tahu. Orang ketiga ini adalah Rheza. Hahaha.

Akhirnya dia tahu salah satu tindakan gila gue. Nggak perlu gue ceritain kali ya rahasia gue di sini. Tapi, ini berhubungan dengan tulisan, orang yang gue suka, dan otak gue yang gila.

Continue reading

Behind The Scene of Wedding Rush – Ghina: Nggak Biasa Bikin Lagu Cinta.

Halo! Udah lama banget nggak mampir di blog ini. Hehehe. Sorry, kesibukan akhir-akhir ini meningkat drastis. 😦

Nah, sesuai judul di atas, kali ini gue mau bagi-bagi cerita tentang behind the scene dari novel kesepuluh gue yang berjudul Wedding Rush. Selain proses penulisan, ada berbagai hal yang dikerjakan oleh teman-teman gue untuk Wedding Rush. Penasaran? Tenang, rangkaian cerita gue tentang BTS ini akan terus bergulir sampai narasumbernya habis. :p

***

Lo semua udah denger lagu “Bukan Takdirku” yang jadi original soundtrack dari Wedding Rush belum?

Continue reading

Kala Desember

Trying to forget someone you love is like trying to remember someone you never met.

***

Aku terlalu terkejut ketika jantung ini masih melonjak keras saat bertemu pandang lagi denganmu.

“Apa kabar?” tanyamu seraya menarik kursi di hadapanku dan duduk tenang di sana.

Aku hanya tersenyum, memainkan jemariku di tepian mulut cangkir sambil menjawab pelan, “Seburuk saat aku bertemu denganmu kembali.”

Continue reading

Come Back

“Pada akhirnya, lo milih balik ke Indo juga kan?”

Padma meringis, tanpa menatap mata sosok yang duduk di sampingnya kini pun ia tau, lelaki itu tengah tersenyum penuh kemenangan. “Gimanapun, gue kan juga mau dateng ke pernikahan sahabat gue.”

“Harusnya lo dateng sejak seminggu lo sampai di Jerman dan kerjaannya nangis meraung-raung,” timpal Sufi sambil mendecakkan lidahnya. “Lo harus tau segila apa Daka saat lo pergi diem-diem gini.”

Bandara selalu menjadi tempat menyenangkan bagi Padma. Namun saat ini tidak seperti itu di kala Sufi—teman satu UKM-nya dulu di kampus—sibuk memberinya wejangan. Kini mereka sedang menikmati makan siang selagi menunggu jam keberangkatan pesawat yang akan membawa mereka menuju Indonesia. Perjalanan panjang yang pasti akan melelahkan mengingat dua kali transit dan lamanya berada di pesawat. Namun semua itu mereka tempuh hanya untuk menghadiri resepsi pernikahan sahabat Padma, Rajata dan Resita.

“Kalau gue nggak pergi, mungkin kami berempat masih terjebak di kotak yang sama.”

Continue reading

Jadi Orang Muda dan Hidup Senang-Senang

Warning: Tulisan ini sangat menggurui layaknya dosen di kampus dan sangat belagu bin alay seperti senior yang pake tanktop ke kampus.

***

Baiklah, gue nggak tau kesambet apaan sampai nulis kayak begini. Mungkin efek dari matahari yang bersinar cerah saat gue nyuci baju dengan asoy geboy. #tsaah

Pernah denger kata hedon?

Secara singkat, kalau kata guru PLH gue dulu di SMA, hedon itu seperti… mengejar kesenangan duniawi. Iya, seneng-seneng gitu kalo nggak salah sih. CMIIW ya.

Ada beberapa orang yang baru kenal gue karena tulisan gue bilang, “Lo nulis terus ya? Kapan seneng-senengnya?”

Well, sebenernya gue pengen ketawa. Maafkan daku, soalnya pertanyaan itu berbanding terbalik dengan kenyataan, huehehehe.

Kalau orang yang udah kenal gue, justru mereka bingung, kapan lo nulisnya? Perasaan kerjaan lo keluar masuk mall terus.

*lalu ngakak*

***

Banyak orang yang lebih dewasa bilang ke gue, “Seumur kamu aku masih sibuk jalan-jalan dan pacaran. Tapi kamu udah bikin novel aja.”

Hehehe, baiklah, di sini gue akan bongkar aib gue mengenai hal ini.

 

Jadi anak muda—gue masih 18 tahun, oke?—adalah masa-masa yang menyenangkan. Ketika kita baru keluar dari “kandang” dan melihat dunia, wow, rasanya nggak pengen balik ke “kandang”. Maunya bebas! Jalan-jalan, nongkrong di sana, nongkrong di sini, nyobain tempat baru, kenalan sama temen baru, atau pacaran sama cowok yang bisa bikin kita melting walau cuma dirayu pake setangkai mawar seharga sepuluh ribu—oke ini bukan pengalaman gue, tapi… ya sudahlah.

Gue pun lagi ada di masa kejayaan seperti itu.

Tapi, apa yang bikin orang lain ngeliat gue “beda” sama remaja seusia gue lainnya?

Karena gue masih tetep nulis dan menghasilkan karya, hehehe.

Gue memang nulis, tapi bukan berarti gue nggak hang out dan gaul sana-sini. Di sini yang berperan banyak adalah kemampuan mengatur waktu, dompet dan multitasking, hahaha.

Orang-orang suka heran sama gue, gue kadang ‘terlalu’ multitasking. Gue bisa diajak ngobrol sambil ngetik ulang sebuah laporan atau buku dan terkadang jawab chat dari orang. Eh, itu bisa disebut multitasking nggak sih? Ah, apalah namanya. Tapi menurut yang pernah gue baca, 8 dari 10 perempuan memang multitasking dibanding laki-laki.

Dan soal waktu, kita punya 24 jam dalam sehari. Kata orang sih kurang, tapi ya menurut gue gimana lo ngaturnya aja.

Saat libur UN kemarin—kurang lebih 3-4 bulan kalau nggak salah—apa kerjaan gue?

Jalan-jalan, makan, nulis, tidur.

Iya, dalam seminggu bisa empat kali gue keluar rumah cuma untuk ke mall.

Terus nulisnya kapan?

Gue nulis pas udah pulang dari mall, di saat nunggu kereta, di saat nonton (pas lagi iklan gitu), dan kapanpun gue mau. Kita bisa dapetin apa yang kita mau, kalau kita emang usaha untuk itu.

Nyari idenya kapan?

Percayalah, pencarian ide bisa sangat mahal atau murah. Huahahahaha. Tapi sesungguhnya, ide itu nggak terbatas, nggak ada harganya karena dia lebih dari apapun. Kebiasaan gue adalah gue dapet ide saat lagi bersih-bersih. Silahkan tanya nyokap gue berapa kali gue ngelamun kalo lagi nyuci bareng dia. Huahaha.

Tapi, ngehedon ala gue juga mendatangkan ide.

Emang ngehedon ala Jenny kayak apa sih?

Yakin mau tau?

Gini ya, gue orangnya agak—ralat, SANGAT boros. Jadi ngehedon pun kadang nggak tanggung-tanggung.

Partner ngehedon gue biasanya adalah anak JU—Jomblo United. Lo pasti tau kan siapa aja? Ya Sarah, Puan, sama Icha. Hehehe. Mereka ini sohib paling asik buat diajak melarat ataupun ngehedon. Itulah yang namanya sohib, gurls! Nggak cuma ada pas lo ngajak ke salon doang, huahahaha.

IMG-20140126-WA0010

Tanyalah mereka tentang kebiasaan ngehedon gue, pasti mereka bakal geleng-geleng kepala sambil bilang, JANGAN DITIRU.

Gue kalau ke mall kerjanya kalo nggak mampir ke toko buku, makan, nonton, karaokean, photobox, beli DVD, beli aksesoris, beli baju favorit, beli sepatu, beli tas, dan segala macam aktivitas yang mengeluarkan duit sampai gue bangkrut di awal bulan.

Nyokap gue sendiri udah sampe elus dada adek gue saking berusaha sabarnya.

Nyokap malah pernah nyaranin untuk gue bikin garage sale. Kenapa? Karena barang-barang gue udah KEBANYAKAN.

Dulu pas masih sekolah, gue beli kardigan hampir setiap minggu. Lo mau yang bahan kaos sampe yang rajut? Ada. Mau warna gelap sampe warna neon? Ada.

Udah gitu, tas gue lebih dari sepuluh. Sepatu dari mulai flat shoes sampe wedges dan boots, pun ada. Parfum dari yang Bali Ratih sampe yang Guess pun ada.

Ih, boros banget ya?

Tapi ya itulah namanya hedon, kita senang-senang dengan hal duniawi. That’s me, salah satu bad habit yang belum hilang.

Kadang, kalau udah bosen dan masih bagus sih gue kasih atau jual. Tuh si Sarah, dia yang paling rajin beli make up kit gue. Hehehe.

 

Percayalah, orang yang lo kira kerjaannya ngerem di rumah ini, lebih suka The Body Shop dan NYX untuk ada di tasnya.

***

Kalau lo belanja terus, berarti minta duit ke nyokap terus dong?

Ugh, sayang sekali, pertanyaan anda meleset saudara-saudara. Nyokap pernah bilang, kalau kamu boros dan sukanya belanja, jangan jadi orang hemat. Tapi jadi orang yang bisa menghasilkan uang.

Jadi hemat itu susaaaah. Ujung-ujungnya kok ya jadi pelit sama diri sendiri? Huhuhu. Akhirnya gue ikutin saran nyokap.

Dari dulu, entah kenapa gue emang udah suka jualan. Pas SD aja gue udah suka jualan gelang sama aksesoris bikinan sendiri. Pas SMP gue jadi tukang ketik tugas buat temen-temen gue. Lumayan lho, dulu karena gue yang udah lebih mahir komputer dibanding temen-temen gue, jadinya apa-apa ke gue.

Koleksi novel gue yang udah lebih dari 200 itupun, didapat dari uang sendiri. :’D

Jadi pas SMP mulai tuh beli novel dari duit hasil jadi tukang ketik—yes, gue bangga kok dengan hal ini—awalnya cuma empat novel tuh. Terus gue sewain dengan tarif terjangkau. Lama-lama dari hasil penyewaan itu bisa beli yang baru. Dan akhirnya semua temen gue di satu angkatan kenal gue. Apalagi pas jamannya tugas review, semua panggil gue dengan embel-embel, “Jen, buku yang cocok buat di-review apa ya?”

Karena itu juga, gue jadi tukang review tersendiri bagi mereka. Ada yang nanya novel terbaru dan yang bagus apa. Ada juga tuh yang beli novel tapi dikasih ke gue dulu. Gue diminta baca dan kasih tanggapan. Lumayankan? Kadang hal itu kebawa kalau gue ke toko buku sama orang lain. Orang itu bakal nanya tentang buku  A, maka gue ceritain hal-hal yang gue tau. Hihihi. Berasa sales sih.

Pas SMA pun, gue pernah jualan Oriflame, Sophie Martin sampe Tupperware. Hahaha. Tapi itu cuma karena iseng, ada yang butuh ya gue bantu.

Pas SMA itu juga, gue sering jadi semacam personal stylist buat temen-temen gue. Ketika si A mau dateng ke birthday bash-nya si B, gue diajak keliling mall untuk bantu dia milih pakaian dan kawan-kawannya yang cocok sesuai dress code. Setelah itu? Lumayan, bisa beli dua novel lah :p

Atau ketika si C mau ngadain sweet seventeen tapi bingung mau venue-nya kayak apa. Gue ajak keliling Bogor untuk nyari tempat yang sesuai.

Ah, indahnya hidup kan…

Tapi jangan tanya deh seberapa borosnya gue. Lo bisa elus dada kalau masalah itu…

Masih pengen tahu?

Baiklah, ini saatnya aib dibongkar…

Gue kira, ngabisin 600 ribu untuk beli buku di Blok M adalah rekor gue. Tapi ternyata… gue bisa juga tuh ngehabisin satu juta dua ratus ribu dalam waktu kurang dari dua jam.

*hela napas*

Itu beli apa aja? *emot shock*

Banyak, hahaha. Baju, buku, tas, parfum favorit—sekali lagi, favorit gue Pamplemousse Grape-nya TBS, ya kali kan ada yang mau ngasih gue hadiah ultah, hihihi—dan segala macam hal penting-nggak-penting.

Dari mana tuh duitnya?

Dari penghasilan gue sendiri dong, hehehe. Alhamdulillah, buat ngehedon mah gue bisa nyari sendiri. Ya kali deh, gue juga nggak bakal ngehedon pake duit orangtua lah. Kerja bisa dua per tiga hari buat anaknya, masa iya gue hambur-hamburin buat beli parfum?

Sejauh ini, hasil royalti dari novel-novel gue ya gue pegang sendiri. Sebagian ada yang emang buat ngehedon, sebagiannya lagi buat bayar ini-itu untuk kebutuhan akademis gue. Makanya gue nggak terlalu pusing dengan acara ngehedon ini. Karena setelah ngehedon, gue dapet ide, terus nulis, ngirim naskah, kalau diterima nantinya di terbitin, setelah diterbitin dan syukur-syukur ada yang mau beli, dapet royalti lagi deh.

Kan nyokap gue udah bilang, kalau nggak bisa hemat ya harus menghasilkan uang lah. Hahaha.

Di sini gue nggak ngajarin lo semua yang baca ini untuk ngehedon bareng gue. Plz, cuma gue aja anak belagu macem ini, huahahaha.

 

Kita kan masih muda nih, kita masih bisa milih, mau jadi anak yang cuma tau “seneng-seneng” atau jadi anak yang bisa “seneng-seneng tapi menghasilkan”. Semua pilihan ada di tangan lo, tapi semua pilihan pasti punya akhir yang beda.

Gue pribadi, seneng jadi orang yang bisa have fun tapi tetap bisa menulis dan menghasilkan karya. Ya, jangan kita pikirin deh karya kita mau dicaci atau dipuji. Karya itu seni, dan seni itu masalah selera. Tiap orang punya selera sendiri seperti punya pilihan hidupnya sendiri.

Baiklah, segini aja dulu. Gue mau ngejar deadline yang jalannya cepet banget kayak dosen, huhuhu.

YOLO, bro! \m/

 

Salam,

 

Anak me(n)tal.

 

Pacaran, pentingkah?

Baiklah, ketika gue nulis ini, bisa dipastikan kalau gue dalam keadaan sesadar-sadarnya. #plak

Well, entah kenapa akhir-akhir ini gue sering disodorin pertanyaan sejenis, “Kapan punya pacar? Nggak bosen ngejomblo mulu, woy?”

Dan dua hari yang lalu, salah seorang pembaca yang temenan sama gue di BBM, tiba-tiba nanyain hal serupa di tengah-tengah obrolan. “Jen, kok jomblo terus sih? Padahal kan cerita-cerita lo sweet gitu.”

Ini pertanyaan yang menohok hati saya, Jendral!

Hahaha.

Banyak orang yang bilang, karena keasyikan menulis gue jadi jomblo. Maksudnya nggak mau ngelirik cowok gitu.

Padahal, nggak begitu juga sih. Gue tetep ngelirik cowok kok, apalagi yang ganteng, gue pelototin. Kan pandangan pertama itu rejeki, nanti kalo kita ngedip dan jatohnya jadi pandangan kedua, jadinya dosa. #lha

Tanyalah temen-temen deket gue, mereka udah gue sodorin pertanyaan, “Kapan ya gue punya pacar?”. Huffft. Bahkan editor gue, Kak Afri, lebih parah lagi. Dia selalu menyindir-nyindir soal pacar. Dulu dia pernah bilang, “Kamu punya deadline sebulan buat cari pacar. Nanti kalau kita ketemu, kamu harus bawa pacar kamu.”

Aku rapopo kok, Mas. </3

Sebegitu pentingkah bagi gue untuk punya pacar?

Dulu, pas SMA gue pernah punya pacar. Lebih tepatnya dari tahun 2012-2013. Tapi entah kenapa, setelah satu tahun lebih lima bulan, gue ngerasa bosen. Iya, parah banget ya? Emang sih saat mau putus itu gue lagi deket sama cowok lain, tapi kalaupun gue nggak deket sama cowok itu, perasaan bosen itu juga masih ada.

Dan yang gue sesalkan adalah, entah karena pacaran, entah karena transisi dari SMP ke SMA (saat pacaran itu gue dari kelas 1 sampe kelas 2 SMA), atau entah karena kegiatan organisasi, gue nggak nulis apapun, nggak nulis sama sekali dalam setahun.

Bukan nulis PR atau tugas, maksudnya mengarang, ehehe. Pokoknya tahun itu gue serasa jadi pembaca, bukan penulis. Huuft, sedih. Soalnya kan gue dari dulu bertekad jadi penulis sejak muda. Iya, itu impian gue sejak gue umur 13 tahun.

Sejak umur 13 tahun, gue selalu bikin resolusi tahunan yang bakal ada tanda check saat resolusi itu tercapai. Jadi penulis dan ngeluar novel solo sebelum usia 17 tahun adalah resolusi yang nggak pernah ketinggalan.

Pas lagi galau-galaunya mikirin gebetan atau pacar, gue juga mikir, tahun itu (tahun 2012) udah mau berakhir. Januari gue udah ulang tahun, it means umur makin nambah. Kapan resolusi gue untuk ngeluarin novel sebelum 17 tahun bisa tercapai kalau setahun aja cerpen nggak ada yang berhasil ketulis sampai selesai?

Di tahun 2012 itu, seorang teman nawarin untuk ikut antologi. Tadinya mau dibikin indie, eh nggak nyangka ada penerbit major yang ngelirik dan mau nerbitin naskah itu. Akhirnya bikinlah gue cerpen, eh ditolak cerpen gue. Gue mikir, iya sih, cerpen yang gue sodorin itu nggak banget. Udah setahun nggak berhasil nulis apapun dan saat itu dikebut deadline. Matilah awak.

Tapi, pada akhirnya gue berhasil nulis. Karena gue lagi galau, gue tulislah kegalauan itu dibumbui fiksi. Jadilah cerpen yang di-acc sang editor! Hore!

Dan di awal 2013, gue akhirnya putus. Hore! Hore! Saat itu juga perasaan gue lega, mungkin emang belum saatnya gue untuk pacaran. Maka dari itu, karena ngeliat salah seorang temen gue berhasil masuk major, gue pun nyoba ngirimin naskah yang udah selesai dari jaman SMP ke penerbit yang sama.

Di tahun ini, kehidupan percintaan gue nggak mulus. Iya, tapi mau gimana lagi? Namanya juga hidup. Udah cukup setahun yang lalu gue ngerasain pacaran, jadi tahun ini pun gue cuma bisa ngerasain gimana rasanya memendam perasaan. Halaaaah. Tapi beruntungnya gue, novel yang gue kirim di-acc. Jadilah gue nerbitin novel sebelum umur 17 tahun! Resolusi gue tercapai, yeees!

Tuh kan, rejeki emang nggak kemana. Biarkan sang gebetan ke laut—well, dia emang ke laut kok—dan biarkan naskah gue masuk ke penerbit. Hahaha.

Mungkin juga karena nggak ada yang gue urusin di tahun itu, tahun 2013 gue adalah tahun yang sangat menguntungkan. Lima novel selesai dan dua di antaranya di-acc sama penerbit major. Mulai dari sana, gue belajar untuk lebih mengembangkan diri gue. Dibanding ngelirik cowok yang nggak ngelirik kita, mending kita bikin tulisan yang bisa dilirik penerbit kan? Hahaha.

Di 2013 ini gue udah kenal Wattpad. Empat novel yang selesai di tahun ini gue posting di Wattpad. Di tahun ini gue kenal sama temen-temen yang selalu support gue dan selalu jadi temen hedon gue. Oh my, kurang beruntung apa gue di tahun ini?

Tuhan punya rencana yang terbaik di antara yang terbaik buat setiap manusia kan?

Dan gue percaya itu.

Ketika akhir 2013 makin deket, gue mulai bikin resolusi untuk 2014 dan daftar hal-hal baik apa yang udah gue raih di 2013. Di 2013 itu, gue menang lomba cerpen di acara-nya PNJ. Terus naskah di-acc, masuk ke kampus yang sekarang jadi kampus gue, bisa dapet pengalaman di-interview sama KISI FM Bogor, dan masih banyak lagi. Mungkin putus dari pacar adalah hal yang bagus yang gue dapetin di tahun itu.

Percayalah, kisah cinta gue mungkin nggak semanis sama kisah cinta yang gue tulis. Toh nggak ada kewajiban untuk nulis sesuai pengalaman kan? Hahaha. Fyi, memutuskan pacar di perayaan sweet seventeen gue yang digagas temen-temen satu organisasi plus pacar gue itu, adalah rekor kejahatan gue. Wkakakakak.

Hidup terus berjalan kan? Ketika di 2013 ini gue malah “melahirkan” novel-novel gue, mantan pacar gue udah punya pacar baru dan sibuk tebar pesona sama cewek di sekitarnya.

So what? Hidup itu bukan cuma masalah berapa jumlah mantan yang berhasil di dapatkan seumur hidup kok.

Di awal 2014, gue dapet kejutan kalau novel gue yang lagi on going di Wattpad dilirik penerbit. Nah, di sinilah gue ketemu Kak Afri. Editor cantik, baik hati, tapi bisa sangat SADIIIIZ—iya pake Z, lebay emang, tapi emang gitu. #plak

Di 2014 ini, gue makin dibanjiri sama rejeki. Dua novel dan satu antologi cerpen keroyokan di-acc sama penerbit major. Dan gue juga publish tiga buku gue secara indie. Gue bisa launching buku gue sendiri :’)

Dan ketika orang-orang nanyain “Kapan punya pacar?” atau “Kok belum punya pacar?”, gue keinget kalau gue nggak nyantumin Punya pacar di resolusi gue tahun ini.

Yan ada di resolusi gue itu ya cuma tentang karier (cieee bahasanya!), akademik dan pendewasaan sifat. Itu aja. Kalau tentang relationship, gue cuma nulis, Single or taken? Dunno.

Hahaha, karena dari awal tahun pun nggak berharap banyak dengan kisah percintaan gue. #eaa Yang penting mah sekarang kuliah aja deh dulu sama kembangin nulisnya lagi.

Setidaknya, kalau beberapa tahun ke depan gue tetep jomblo, gue punya beberapa hal yang bisa dibanggakan selain status kejombloan gue. Iya nggak? Wkakakakakak.

Ngeluarin novel solo bisa dibanggain kan? Walaupun nggak ada yang beli sekalipun, setidaknya gue udah maju satu langkah dari orang-orang yang belum berani nulis. Hohoho.

Jadi… apa gue bakal nulis resolusi punya pacar untuk tahun depan?

Rasanya nggak.

Tentang Mamaku

1

Oke, kali ini gue mau ngepost full tentang nyokap. Hahaha. Nggak tau kenapa ya, tadi kepikiran aja.

Hm, gue bingung mesti cerita apa tentang nyokap.

Nyokap gue itu… udah tua :p Tanggal 6 November ini, umurnya bakal nambah satu angka di belakangnya. 51 tahun. Udah lebih dari separuh abad kan ya?

Nyokap gue itu… kadang bawel, kadang galaaaaak banget, tapi selalu baik.

Nyokap gue itu… suka nyuruh gue ke loteng buat nyalain lampu loteng di bagian luar. Dan gue suka turun tangga sambil teriak hiii yang bikin dia ngakak dan terus ngeledekin “Dasar penakut”.

Padahal… dia kalo mau ngangkat jemuran di loteng pas malem-malem, pasti minta temenin gue. Saat gue ngeledekin balik, doi ngomel (YA IYALAH!) dan alasannya cuma: “Kan nggak enak, mending berdua”. Dan akhirnya gue tahu, dulu, Mbah gue–nyokapnya nyokap gue(?)–kalo ke hutan buat nyari kayu bakar atau ngapain pasti minta anter nyokap gue dan sering kali ngasih alasan yang sama. Hmm, faktor genetik ya? #eh

Nyokap gue itu… kalau ke mall bisa berjam-jam. Apalagi kalo lagi jalan sama gue dan Amos–adek gue. Pas kita ngeluh doski cuma bilang, “Biar kalian sekalian puas kalau ke mall”. Dan ternyata gue juga kalau jalan ke mall nggak pernah sebentar, hahaha.

Nyokap gue selalu ngeledekin rambut gue yang keriting. Mentang-mentang yeee 😦 Tapi dia bilang, nggak boleh dilurusin. “Daripada duit dikeluarin buat smoothing rambut, mending kamu beli jilbab aja yang bagus-bagus.”

Nyokap gue itu… emang nggak sefenomenal ibu R.A Kartini atau Cut Nyak Dien. Tapi dia punya power-nya sendiri. Dia sanggup hidup bertahun-tahun jadi ibu sekaligus ayah buat gue sama Amos. Dia nggak pernah ngeluh sama kondisinya.

Nyokap adalah orang yang pertama kali ngedukung gue nulis. Dia yang mau dan ngijinin gue ikut lomba atau workshop nulis sejak gue SMP dulu.

“Mama nggak bisa nganter, tapi kalau kamu bisa sendiri, mama ijinin.”

Nyokap adalah orang yang selalu bangga sama tulisan gue. Kalau cerita gue kalah di lomba atau ditolak, dia nggak bakal ngerasa gue ini gagal. Gue cuma belum dapet kesempatan.

Nyokap nggak pernah ngebiasain bangun siang tiap hari Minggu kayak temen-temen gue. Kadang suka gimanaa gitu, kalo denger cerita temen gue yang bisa bebas bangun jam berapa dan nggak mesti ngerjain kerjaan rumah. Tapi akhirnya gue sadar, nyokap gue cuma nggak mau anak perempuannya jadi perempuan yang nggak bisa ngerjain pekerjaan rumah.

Walaupun nggak becus-becus amat, yang penting bisa. Hahaha.

Dulu, gue nggak mau yang namanya curhat ke nyokap. Dulu gue tertutup sama keluarga sendiri. Tapi ke sini-sini, gue banyak cerita. Nggak tentang masalah percintaan (????) juga sih, tapi masih mending dari pada dulu lah.

Nyokap selalu baca cerita gue yang berhasil terbit. Entah itu bentuknya cuma cerpen di antologi cerpen atau novel gue.

Diam-diam, nyokap nggak pernah berhenti promo tulisan gue. Hahaha. Bayangin, temen kantornya baca Playboy’s Tale sama Unplanned Love!

IMG_20141029_162623

Nyokap rela ambil cuti cuma buat dateng ke launching Playboy’s Tale.

Dulu, gue kira gue nggak dibolehin pergi kemana-mana. Tapi saat kemaren gue ke Bandung, diijinin. Dan saat kemaren gue minta ijin buat ke Jogja dia ngijinin–mama sekalian ikut dong, katanya. Saat gue mau ijin ke luar negeri, nyokap bilang, ngapain? Urus dulu paspornya.

Menurut orang-orang, nyokap gue itu awet muda. Dikiranya masih empat puluhan awal. Doi cuma bisa ngakak. Apalagi pas temennya bilang: Mbak, dari belakang kayak umur 25 deh. Dan dengan entengnya doi jawab: Ya lo liat gue dari belakang aja.

Banyak orang yang bilang, kalo gue kayak nggak mirip sama nyokap *cakar tembok* Gue emang lebih mirip ke bokap. Dan waktu Sarah pertama ketemu nyokap dia bilang: Kok lo beda sih sama nyokap lo?. Nyokap gue cuma bilang: Iyalah, ini anak kan ditemuin di bawah pohon toge, hahaha.

Nyokap gue itu kalo ngambek serem banget. Huuuuft *elus dada*

Nyokap adalah orang yang gue bayangkan dan gue harapkan akan panjang umur.

Nyokap adalah orang yang pertama kali gue kasih tau seandainya ada kabar baik tentang tulisan gue. Hohoho.

Nyokap itu selera fashion-nya hampir sama kayak gue. Wkwkwk, sering banget baju atau aksesoris dia gue pake. Kita sering sharing barang. Tapi kebanyakan sih dia yang ngambil fashion item gue yang sering kali terlupakan kalau udah ada yang baru *langsung minta maaf sama semua tas gue*

Nyokap paling bawel kalau kamar berantakan, nggak cuci piring, nggak makan dan nggak mandi. Pfft.

Nyokap beranggapan, kalau suatu saat nanti mungkin gue bisa jadi sekeren dan seproduktif Mira W, Asma Nadia atau semua penulis perempuan yang dia tau.

Nyokap gue itu… udah baca semua novel yang masuk dalam jajaran karya angkatan 20-an sampai novel-novel jaman sekarang. Makanya kita nyambung kalo ngomongin kisahnya Burhan sama Siti Nurbaya. #eh

Terkadang, gue bertanya-tanya ke diri sendiri.

Bisa nggak gue kayak nyokap?

Bisa nggak gue tetap waras ketika dikhianati?

Bisa nggak gue tetap mandiri dengan kedua kaki gue sendiri?

Bisa nggak gue tetap percaya dengan eksistensi perasaan bernama cinta setelah berhadapan dengan banyak hal selama 18 tahun hidup gue?

Ada banyak pertanyaan itu. Belum tau juga jawabannya.

Tapi… gue belajar banyak dari nyokap gue sendiri.

She is my everything. 

Gue bukan orang yang bisa ngomong “Aku sayang Mama” secara langsung. Ngomong selamat ulang tahun aja nggak biasa. Kita terbiasa dengan action, terbiasa dengan langsung nurutin kata-katanya, bikin nyokap bangga dengan sedikit hal yang gue bisa.

Semoga, semua pencapaian gue selama 18 tahun lebih gue eksis di dunia ini bisa sedikit ngebuat dia bangga sama gue.

Amin.

downloadfile