[Sneak Peek] Be My Forever

Halo!

Terima kasih sudah mengikuti Forever Series. Be My Forever merupakan buku ketiga dari rangkaian seri ini. Bercerita mengenai Neo dan Ilona. Semoga kalian menyukainya seperti aku yang menyukai setiap kata yang kutuliskan.

***

 

 

Be my forever copy

Ilona.

 

Seperti sudah lama sekali sejak terakhir kali kita bertemu.

Continue reading

[Fragmen] Now and Forever

Fragmen 1 copy

[SEVA]

“Kamu selalu cantik dengan kebaya, Sev.”

“Kamu selalu gombal ya dari dulu,” ujarku. “Semoga anak kita nggak senarsis kamu.”

Ia tertawa riang. “Sayangnya harapanmu sepertinya nggak akan terkabul, Sev. Berdoa saja semoga kadarnya nggak lebih besar dariku.”

Tawanya menulariku. Entah hanya aku atau orang lain juga bisa melihatnya, setiap kali ia tertawa, wajahnya selalu tampak bersinar. Seolah-olah lelucon yang ia tertawakan memang mampu membahagiakannya.

Kemudian ia menggenggam tanganku dengan erat. Genggamannya kubalas sama eratnya. Jemarinya yang membawa rasa hangat di permukaan kulitku mengisi sela-sela jemariku dengan begitu pas. Kalau hari ini ia bilang aku cantik dengan kebayaku, maka aku takkan ragu untuk mengatakan bahwa ia tampan dengan setelan jasnya.

Sambil kami berjalan menuju keluargaku yang sedang bersenda gurau, Ren tersenyum ke sekitar. Sepertinya ia senang dengan dekorasi acara hari ini. Area outdoor resort yang terletak di Bogor ini memang sangat pas untuk resepsi sederhana seperti yang kuinginkan.

“Aku senang bisa berada di sini, Sev.” Ia berbisik di telingaku, supaya aku dapat mendengar jelas kata-katanya di balik ingar bingar pesta resepsi pernikahan ini.

“Aku juga senang kamu ada di sini, Ren. Senang sekali.”

“Terima kasih, karena telah menjadi jawaban dari doa-doaku di setiap malam.”

Aku tersenyum. Memang tak ada yang lebih membahagiakan dari menjadi jawaban atas doa-doa yang dipanjatkan oleh seseorang di setiap malamnya.

***

Fragmen 2 copy

[SEVA]

Selain bertujuan untuk belanja, sepertinya di hari Minggu ini Ganis berniat untuk mengajakku jalan-jalan. Mungkin ia sudah lelah melihat aku yang selalu muram bahkan dari radius sepuluh meter.

Mobil matic Ganis melaju di jalan raya dengan kecepatan standar. Sesekali arus jalan raya tersendat karena para turis yang menyeberang dari satu toko souvenir ke toko lainnya.

Om Calvin memutuskan untuk tinggal di Uluwatu sejak menikah, membesarkan kedua anaknya sampai saat ini tanpa berniat untuk pindah ke Jakarta. Sekali pun dulu saat Ganis masih kecil, Ganis pernah merengek selama satu bulan untuk pindah ke Jakarta.

Jakarta ramai, nggak pernah tidur, Pa.

Kira-kira seperti itulah jawabannya. Om Calvin jelas saja menolak. Sampai akhirnya aku tahu ketika aku sudah beranjak besar, bahwa keputusan Om Calvin memang benar. Bali lebih menenteramkan dibanding Jakarta. Sekali pun aku masih semuram ini dan masih bermimpi buruk, tapi setidaknya aku tak harus menahan perih setiap kali diharuskan berada di Jakarta yang penuh kenanganku dengan Ren.

Ren lagi, Ren lagi.

“Kak Seva yakin mau pindah ke Balikpapan?”

Pertanyaan Ganis membuatku terkekeh. Masih dengan kepala yang bersandar pada jendela mobil, aku menjawab, “Kamu udah nanya lebih dari sepuluh kali lho, Ganis.”

Ganis hanya mengedikkan bahu. “Orang sana mungkin banyak banget yang mau pindah ke Jakarta, Kakak malah sebaliknya.”

“Jakarta itu … terlalu penuh dan ramai, Ganis.”

“Justru itu yang jadi alasanku mau pindah ke Jakarta,” gumam Ganis, sepertinya ia juga teringat saat ia dulu merengek ingin pindah ke Jakarta.

“Kalau Kakak penat di Jakarta, kenapa saat Kakak di sini Kakak nggak jalan-jalan?” tanya Ganis lagi. Sepertinya ia benar-benar ingin tahu. “Hampir dua minggu, Kakak cuma jalan-jalan ke pantai paling dekat dari rumah. Sisanya, ikut Papa ke ARTic sama di rumah aja.”

“Menghilangkan penat nggak harus hanya dengan wisata kok.”

Aku menegakkan tubuhku. Sebentar lagi kami sampai di supermarket yang paling sering dikunjungi oleh Ganis.

Pembicaraan kami terhenti sejenak, tapi hal itu membuatku memikirkan kembali pertanyaan Ganis.

Pertanyaan tersebut sebenarnya sudah ditanyakan oleh Om Calvin, Tante Ghea, Tyo, Ganis, bahkan Mbak Asih, yang ikut denganku ke Balikpapan karena ia sudah tak punya siapa-siapa lagi.

Kalau aku jalan-jalan selayaknya turis, justru hal itu akan membuatku memiliki banyak waktu untuk memikirkan Ren. Daripada melakukan upaya ‘bunuh diri’ seperti itu, lebih baik aku belajar dengan Om Calvin di kantornya atau belajar memasak dengan Tante Ghea di rumah.

Kadang-kadang terpikir selintas olehku, betapa menyeramkannya ‘waktu’ yang kita miliki. Terkadang di saat kita sedang bahagia, waktu terasa sangat singkat dan kita akan selalu meminta lebih. Namun, di saat kita sedang sedih atau terluka, waktu seperti mengejek kita dengan memperlambat jalannya. Membuat kita justru makin melukai diri kita sendiri dengan waktu yang akhirnya kita gunakan untuk memikirkan dia, yang melukai kita tanpa berpikir dua kali.

***

Ketika Kau Berbisik….

wVlfnlTbRtK8eGvbnBZI_VolkanOlmez_005

Aku menatap ke sekelilingku.

Cahaya yang ada di kamarku nyaris tak ada. Mataku hanya mengandalkan penerangan dari lampu lorong di luar kamarku.

Orang terakhir yang masuk ke kamarku pasti memilih mematikan lampu saat aku tertidur. Padahal aku sudah bilang berkali-kali, aku tak suka tidur dengan gelap seperti ini.

Tapi, ya sudah. Mereka memang tak pernah mendengarkanku.

Ayo tidur, Cattleya.

Aku menoleh, di mana seseorang sudah duduk di kursi yang ada di samping ranjangku. Suaranya nyaris tak terdengar. Hanya bisikan lirih namun merdu. Suara baritonnya begitu menenangkan. Continue reading

Kala Desember

Trying to forget someone you love is like trying to remember someone you never met.

***

Aku terlalu terkejut ketika jantung ini masih melonjak keras saat bertemu pandang lagi denganmu.

“Apa kabar?” tanyamu seraya menarik kursi di hadapanku dan duduk tenang di sana.

Aku hanya tersenyum, memainkan jemariku di tepian mulut cangkir sambil menjawab pelan, “Seburuk saat aku bertemu denganmu kembali.”

Continue reading

Come Back

“Pada akhirnya, lo milih balik ke Indo juga kan?”

Padma meringis, tanpa menatap mata sosok yang duduk di sampingnya kini pun ia tau, lelaki itu tengah tersenyum penuh kemenangan. “Gimanapun, gue kan juga mau dateng ke pernikahan sahabat gue.”

“Harusnya lo dateng sejak seminggu lo sampai di Jerman dan kerjaannya nangis meraung-raung,” timpal Sufi sambil mendecakkan lidahnya. “Lo harus tau segila apa Daka saat lo pergi diem-diem gini.”

Bandara selalu menjadi tempat menyenangkan bagi Padma. Namun saat ini tidak seperti itu di kala Sufi—teman satu UKM-nya dulu di kampus—sibuk memberinya wejangan. Kini mereka sedang menikmati makan siang selagi menunggu jam keberangkatan pesawat yang akan membawa mereka menuju Indonesia. Perjalanan panjang yang pasti akan melelahkan mengingat dua kali transit dan lamanya berada di pesawat. Namun semua itu mereka tempuh hanya untuk menghadiri resepsi pernikahan sahabat Padma, Rajata dan Resita.

“Kalau gue nggak pergi, mungkin kami berempat masih terjebak di kotak yang sama.”

Continue reading

Tentang Rindu

Looking-Back

 

 

Kau tak perlu mengatakannya.

Oh, aku pun tahu, kau tak akan mengatakannya. Sekeras apapun rindu itu menderamu. Hanya saja yang kau mesti ketahui walau tak bicara apapun padaku, aku merindukanmu. Layaknya pasir pantai yang rindu digerus ombak. Layaknya daun kering di jalanan yang dibawa angin kemana pun angin itu bertiup.

Kau tak perlu mengatakannya.

Aku tahu kalau dirimu tidak akan pernah balas mengucap rindu. Biarkan rindu ini menguap, menjadi sesuatu yang pernah ada, namun tak pernah dianggap ada oleh si penerima rindu.

Kadang aku berpikir, orang hebat seperti apa dirimu hingga diriku merindumu bagai orang gila. Namun aku tak menemukan jawabannya. Kau hanya lelaki biasa, serba biasa dengan hidup yang biasa. Kisah hidupmu tak sedramatis yang orang pikirkan. Kisah cintamu jauh dari kata berwarna.

Lalu apa yang membuatmu begitu kurindukan?

Tak ada, itulah jawabannya.

Karena rindu seringkali tanpa alasan. Rindu seringkali tanpa balasan.

Kau tahu, kadang merindumu ternyata sangat meletihkan. Aku berpikir, apa kalau dirimu membalas rinduku, letih ini akan menghilang?

Namun kurasa, rindu memang tidak akan pernah berbalas. Rindu hanya sekedar rindu.

Sebab rindu, hanya milikmu dengan perempuanmu. Bukan milikku si perempuan di sudut gelap relung hatimu.

Jadi Orang Muda dan Hidup Senang-Senang

Warning: Tulisan ini sangat menggurui layaknya dosen di kampus dan sangat belagu bin alay seperti senior yang pake tanktop ke kampus.

***

Baiklah, gue nggak tau kesambet apaan sampai nulis kayak begini. Mungkin efek dari matahari yang bersinar cerah saat gue nyuci baju dengan asoy geboy. #tsaah

Pernah denger kata hedon?

Secara singkat, kalau kata guru PLH gue dulu di SMA, hedon itu seperti… mengejar kesenangan duniawi. Iya, seneng-seneng gitu kalo nggak salah sih. CMIIW ya.

Ada beberapa orang yang baru kenal gue karena tulisan gue bilang, “Lo nulis terus ya? Kapan seneng-senengnya?”

Well, sebenernya gue pengen ketawa. Maafkan daku, soalnya pertanyaan itu berbanding terbalik dengan kenyataan, huehehehe.

Kalau orang yang udah kenal gue, justru mereka bingung, kapan lo nulisnya? Perasaan kerjaan lo keluar masuk mall terus.

*lalu ngakak*

***

Banyak orang yang lebih dewasa bilang ke gue, “Seumur kamu aku masih sibuk jalan-jalan dan pacaran. Tapi kamu udah bikin novel aja.”

Hehehe, baiklah, di sini gue akan bongkar aib gue mengenai hal ini.

 

Jadi anak muda—gue masih 18 tahun, oke?—adalah masa-masa yang menyenangkan. Ketika kita baru keluar dari “kandang” dan melihat dunia, wow, rasanya nggak pengen balik ke “kandang”. Maunya bebas! Jalan-jalan, nongkrong di sana, nongkrong di sini, nyobain tempat baru, kenalan sama temen baru, atau pacaran sama cowok yang bisa bikin kita melting walau cuma dirayu pake setangkai mawar seharga sepuluh ribu—oke ini bukan pengalaman gue, tapi… ya sudahlah.

Gue pun lagi ada di masa kejayaan seperti itu.

Tapi, apa yang bikin orang lain ngeliat gue “beda” sama remaja seusia gue lainnya?

Karena gue masih tetep nulis dan menghasilkan karya, hehehe.

Gue memang nulis, tapi bukan berarti gue nggak hang out dan gaul sana-sini. Di sini yang berperan banyak adalah kemampuan mengatur waktu, dompet dan multitasking, hahaha.

Orang-orang suka heran sama gue, gue kadang ‘terlalu’ multitasking. Gue bisa diajak ngobrol sambil ngetik ulang sebuah laporan atau buku dan terkadang jawab chat dari orang. Eh, itu bisa disebut multitasking nggak sih? Ah, apalah namanya. Tapi menurut yang pernah gue baca, 8 dari 10 perempuan memang multitasking dibanding laki-laki.

Dan soal waktu, kita punya 24 jam dalam sehari. Kata orang sih kurang, tapi ya menurut gue gimana lo ngaturnya aja.

Saat libur UN kemarin—kurang lebih 3-4 bulan kalau nggak salah—apa kerjaan gue?

Jalan-jalan, makan, nulis, tidur.

Iya, dalam seminggu bisa empat kali gue keluar rumah cuma untuk ke mall.

Terus nulisnya kapan?

Gue nulis pas udah pulang dari mall, di saat nunggu kereta, di saat nonton (pas lagi iklan gitu), dan kapanpun gue mau. Kita bisa dapetin apa yang kita mau, kalau kita emang usaha untuk itu.

Nyari idenya kapan?

Percayalah, pencarian ide bisa sangat mahal atau murah. Huahahahaha. Tapi sesungguhnya, ide itu nggak terbatas, nggak ada harganya karena dia lebih dari apapun. Kebiasaan gue adalah gue dapet ide saat lagi bersih-bersih. Silahkan tanya nyokap gue berapa kali gue ngelamun kalo lagi nyuci bareng dia. Huahaha.

Tapi, ngehedon ala gue juga mendatangkan ide.

Emang ngehedon ala Jenny kayak apa sih?

Yakin mau tau?

Gini ya, gue orangnya agak—ralat, SANGAT boros. Jadi ngehedon pun kadang nggak tanggung-tanggung.

Partner ngehedon gue biasanya adalah anak JU—Jomblo United. Lo pasti tau kan siapa aja? Ya Sarah, Puan, sama Icha. Hehehe. Mereka ini sohib paling asik buat diajak melarat ataupun ngehedon. Itulah yang namanya sohib, gurls! Nggak cuma ada pas lo ngajak ke salon doang, huahahaha.

IMG-20140126-WA0010

Tanyalah mereka tentang kebiasaan ngehedon gue, pasti mereka bakal geleng-geleng kepala sambil bilang, JANGAN DITIRU.

Gue kalau ke mall kerjanya kalo nggak mampir ke toko buku, makan, nonton, karaokean, photobox, beli DVD, beli aksesoris, beli baju favorit, beli sepatu, beli tas, dan segala macam aktivitas yang mengeluarkan duit sampai gue bangkrut di awal bulan.

Nyokap gue sendiri udah sampe elus dada adek gue saking berusaha sabarnya.

Nyokap malah pernah nyaranin untuk gue bikin garage sale. Kenapa? Karena barang-barang gue udah KEBANYAKAN.

Dulu pas masih sekolah, gue beli kardigan hampir setiap minggu. Lo mau yang bahan kaos sampe yang rajut? Ada. Mau warna gelap sampe warna neon? Ada.

Udah gitu, tas gue lebih dari sepuluh. Sepatu dari mulai flat shoes sampe wedges dan boots, pun ada. Parfum dari yang Bali Ratih sampe yang Guess pun ada.

Ih, boros banget ya?

Tapi ya itulah namanya hedon, kita senang-senang dengan hal duniawi. That’s me, salah satu bad habit yang belum hilang.

Kadang, kalau udah bosen dan masih bagus sih gue kasih atau jual. Tuh si Sarah, dia yang paling rajin beli make up kit gue. Hehehe.

 

Percayalah, orang yang lo kira kerjaannya ngerem di rumah ini, lebih suka The Body Shop dan NYX untuk ada di tasnya.

***

Kalau lo belanja terus, berarti minta duit ke nyokap terus dong?

Ugh, sayang sekali, pertanyaan anda meleset saudara-saudara. Nyokap pernah bilang, kalau kamu boros dan sukanya belanja, jangan jadi orang hemat. Tapi jadi orang yang bisa menghasilkan uang.

Jadi hemat itu susaaaah. Ujung-ujungnya kok ya jadi pelit sama diri sendiri? Huhuhu. Akhirnya gue ikutin saran nyokap.

Dari dulu, entah kenapa gue emang udah suka jualan. Pas SD aja gue udah suka jualan gelang sama aksesoris bikinan sendiri. Pas SMP gue jadi tukang ketik tugas buat temen-temen gue. Lumayan lho, dulu karena gue yang udah lebih mahir komputer dibanding temen-temen gue, jadinya apa-apa ke gue.

Koleksi novel gue yang udah lebih dari 200 itupun, didapat dari uang sendiri. :’D

Jadi pas SMP mulai tuh beli novel dari duit hasil jadi tukang ketik—yes, gue bangga kok dengan hal ini—awalnya cuma empat novel tuh. Terus gue sewain dengan tarif terjangkau. Lama-lama dari hasil penyewaan itu bisa beli yang baru. Dan akhirnya semua temen gue di satu angkatan kenal gue. Apalagi pas jamannya tugas review, semua panggil gue dengan embel-embel, “Jen, buku yang cocok buat di-review apa ya?”

Karena itu juga, gue jadi tukang review tersendiri bagi mereka. Ada yang nanya novel terbaru dan yang bagus apa. Ada juga tuh yang beli novel tapi dikasih ke gue dulu. Gue diminta baca dan kasih tanggapan. Lumayankan? Kadang hal itu kebawa kalau gue ke toko buku sama orang lain. Orang itu bakal nanya tentang buku  A, maka gue ceritain hal-hal yang gue tau. Hihihi. Berasa sales sih.

Pas SMA pun, gue pernah jualan Oriflame, Sophie Martin sampe Tupperware. Hahaha. Tapi itu cuma karena iseng, ada yang butuh ya gue bantu.

Pas SMA itu juga, gue sering jadi semacam personal stylist buat temen-temen gue. Ketika si A mau dateng ke birthday bash-nya si B, gue diajak keliling mall untuk bantu dia milih pakaian dan kawan-kawannya yang cocok sesuai dress code. Setelah itu? Lumayan, bisa beli dua novel lah :p

Atau ketika si C mau ngadain sweet seventeen tapi bingung mau venue-nya kayak apa. Gue ajak keliling Bogor untuk nyari tempat yang sesuai.

Ah, indahnya hidup kan…

Tapi jangan tanya deh seberapa borosnya gue. Lo bisa elus dada kalau masalah itu…

Masih pengen tahu?

Baiklah, ini saatnya aib dibongkar…

Gue kira, ngabisin 600 ribu untuk beli buku di Blok M adalah rekor gue. Tapi ternyata… gue bisa juga tuh ngehabisin satu juta dua ratus ribu dalam waktu kurang dari dua jam.

*hela napas*

Itu beli apa aja? *emot shock*

Banyak, hahaha. Baju, buku, tas, parfum favorit—sekali lagi, favorit gue Pamplemousse Grape-nya TBS, ya kali kan ada yang mau ngasih gue hadiah ultah, hihihi—dan segala macam hal penting-nggak-penting.

Dari mana tuh duitnya?

Dari penghasilan gue sendiri dong, hehehe. Alhamdulillah, buat ngehedon mah gue bisa nyari sendiri. Ya kali deh, gue juga nggak bakal ngehedon pake duit orangtua lah. Kerja bisa dua per tiga hari buat anaknya, masa iya gue hambur-hamburin buat beli parfum?

Sejauh ini, hasil royalti dari novel-novel gue ya gue pegang sendiri. Sebagian ada yang emang buat ngehedon, sebagiannya lagi buat bayar ini-itu untuk kebutuhan akademis gue. Makanya gue nggak terlalu pusing dengan acara ngehedon ini. Karena setelah ngehedon, gue dapet ide, terus nulis, ngirim naskah, kalau diterima nantinya di terbitin, setelah diterbitin dan syukur-syukur ada yang mau beli, dapet royalti lagi deh.

Kan nyokap gue udah bilang, kalau nggak bisa hemat ya harus menghasilkan uang lah. Hahaha.

Di sini gue nggak ngajarin lo semua yang baca ini untuk ngehedon bareng gue. Plz, cuma gue aja anak belagu macem ini, huahahaha.

 

Kita kan masih muda nih, kita masih bisa milih, mau jadi anak yang cuma tau “seneng-seneng” atau jadi anak yang bisa “seneng-seneng tapi menghasilkan”. Semua pilihan ada di tangan lo, tapi semua pilihan pasti punya akhir yang beda.

Gue pribadi, seneng jadi orang yang bisa have fun tapi tetap bisa menulis dan menghasilkan karya. Ya, jangan kita pikirin deh karya kita mau dicaci atau dipuji. Karya itu seni, dan seni itu masalah selera. Tiap orang punya selera sendiri seperti punya pilihan hidupnya sendiri.

Baiklah, segini aja dulu. Gue mau ngejar deadline yang jalannya cepet banget kayak dosen, huhuhu.

YOLO, bro! \m/

 

Salam,

 

Anak me(n)tal.

 

Pacaran, pentingkah?

Baiklah, ketika gue nulis ini, bisa dipastikan kalau gue dalam keadaan sesadar-sadarnya. #plak

Well, entah kenapa akhir-akhir ini gue sering disodorin pertanyaan sejenis, “Kapan punya pacar? Nggak bosen ngejomblo mulu, woy?”

Dan dua hari yang lalu, salah seorang pembaca yang temenan sama gue di BBM, tiba-tiba nanyain hal serupa di tengah-tengah obrolan. “Jen, kok jomblo terus sih? Padahal kan cerita-cerita lo sweet gitu.”

Ini pertanyaan yang menohok hati saya, Jendral!

Hahaha.

Banyak orang yang bilang, karena keasyikan menulis gue jadi jomblo. Maksudnya nggak mau ngelirik cowok gitu.

Padahal, nggak begitu juga sih. Gue tetep ngelirik cowok kok, apalagi yang ganteng, gue pelototin. Kan pandangan pertama itu rejeki, nanti kalo kita ngedip dan jatohnya jadi pandangan kedua, jadinya dosa. #lha

Tanyalah temen-temen deket gue, mereka udah gue sodorin pertanyaan, “Kapan ya gue punya pacar?”. Huffft. Bahkan editor gue, Kak Afri, lebih parah lagi. Dia selalu menyindir-nyindir soal pacar. Dulu dia pernah bilang, “Kamu punya deadline sebulan buat cari pacar. Nanti kalau kita ketemu, kamu harus bawa pacar kamu.”

Aku rapopo kok, Mas. </3

Sebegitu pentingkah bagi gue untuk punya pacar?

Dulu, pas SMA gue pernah punya pacar. Lebih tepatnya dari tahun 2012-2013. Tapi entah kenapa, setelah satu tahun lebih lima bulan, gue ngerasa bosen. Iya, parah banget ya? Emang sih saat mau putus itu gue lagi deket sama cowok lain, tapi kalaupun gue nggak deket sama cowok itu, perasaan bosen itu juga masih ada.

Dan yang gue sesalkan adalah, entah karena pacaran, entah karena transisi dari SMP ke SMA (saat pacaran itu gue dari kelas 1 sampe kelas 2 SMA), atau entah karena kegiatan organisasi, gue nggak nulis apapun, nggak nulis sama sekali dalam setahun.

Bukan nulis PR atau tugas, maksudnya mengarang, ehehe. Pokoknya tahun itu gue serasa jadi pembaca, bukan penulis. Huuft, sedih. Soalnya kan gue dari dulu bertekad jadi penulis sejak muda. Iya, itu impian gue sejak gue umur 13 tahun.

Sejak umur 13 tahun, gue selalu bikin resolusi tahunan yang bakal ada tanda check saat resolusi itu tercapai. Jadi penulis dan ngeluar novel solo sebelum usia 17 tahun adalah resolusi yang nggak pernah ketinggalan.

Pas lagi galau-galaunya mikirin gebetan atau pacar, gue juga mikir, tahun itu (tahun 2012) udah mau berakhir. Januari gue udah ulang tahun, it means umur makin nambah. Kapan resolusi gue untuk ngeluarin novel sebelum 17 tahun bisa tercapai kalau setahun aja cerpen nggak ada yang berhasil ketulis sampai selesai?

Di tahun 2012 itu, seorang teman nawarin untuk ikut antologi. Tadinya mau dibikin indie, eh nggak nyangka ada penerbit major yang ngelirik dan mau nerbitin naskah itu. Akhirnya bikinlah gue cerpen, eh ditolak cerpen gue. Gue mikir, iya sih, cerpen yang gue sodorin itu nggak banget. Udah setahun nggak berhasil nulis apapun dan saat itu dikebut deadline. Matilah awak.

Tapi, pada akhirnya gue berhasil nulis. Karena gue lagi galau, gue tulislah kegalauan itu dibumbui fiksi. Jadilah cerpen yang di-acc sang editor! Hore!

Dan di awal 2013, gue akhirnya putus. Hore! Hore! Saat itu juga perasaan gue lega, mungkin emang belum saatnya gue untuk pacaran. Maka dari itu, karena ngeliat salah seorang temen gue berhasil masuk major, gue pun nyoba ngirimin naskah yang udah selesai dari jaman SMP ke penerbit yang sama.

Di tahun ini, kehidupan percintaan gue nggak mulus. Iya, tapi mau gimana lagi? Namanya juga hidup. Udah cukup setahun yang lalu gue ngerasain pacaran, jadi tahun ini pun gue cuma bisa ngerasain gimana rasanya memendam perasaan. Halaaaah. Tapi beruntungnya gue, novel yang gue kirim di-acc. Jadilah gue nerbitin novel sebelum umur 17 tahun! Resolusi gue tercapai, yeees!

Tuh kan, rejeki emang nggak kemana. Biarkan sang gebetan ke laut—well, dia emang ke laut kok—dan biarkan naskah gue masuk ke penerbit. Hahaha.

Mungkin juga karena nggak ada yang gue urusin di tahun itu, tahun 2013 gue adalah tahun yang sangat menguntungkan. Lima novel selesai dan dua di antaranya di-acc sama penerbit major. Mulai dari sana, gue belajar untuk lebih mengembangkan diri gue. Dibanding ngelirik cowok yang nggak ngelirik kita, mending kita bikin tulisan yang bisa dilirik penerbit kan? Hahaha.

Di 2013 ini gue udah kenal Wattpad. Empat novel yang selesai di tahun ini gue posting di Wattpad. Di tahun ini gue kenal sama temen-temen yang selalu support gue dan selalu jadi temen hedon gue. Oh my, kurang beruntung apa gue di tahun ini?

Tuhan punya rencana yang terbaik di antara yang terbaik buat setiap manusia kan?

Dan gue percaya itu.

Ketika akhir 2013 makin deket, gue mulai bikin resolusi untuk 2014 dan daftar hal-hal baik apa yang udah gue raih di 2013. Di 2013 itu, gue menang lomba cerpen di acara-nya PNJ. Terus naskah di-acc, masuk ke kampus yang sekarang jadi kampus gue, bisa dapet pengalaman di-interview sama KISI FM Bogor, dan masih banyak lagi. Mungkin putus dari pacar adalah hal yang bagus yang gue dapetin di tahun itu.

Percayalah, kisah cinta gue mungkin nggak semanis sama kisah cinta yang gue tulis. Toh nggak ada kewajiban untuk nulis sesuai pengalaman kan? Hahaha. Fyi, memutuskan pacar di perayaan sweet seventeen gue yang digagas temen-temen satu organisasi plus pacar gue itu, adalah rekor kejahatan gue. Wkakakakak.

Hidup terus berjalan kan? Ketika di 2013 ini gue malah “melahirkan” novel-novel gue, mantan pacar gue udah punya pacar baru dan sibuk tebar pesona sama cewek di sekitarnya.

So what? Hidup itu bukan cuma masalah berapa jumlah mantan yang berhasil di dapatkan seumur hidup kok.

Di awal 2014, gue dapet kejutan kalau novel gue yang lagi on going di Wattpad dilirik penerbit. Nah, di sinilah gue ketemu Kak Afri. Editor cantik, baik hati, tapi bisa sangat SADIIIIZ—iya pake Z, lebay emang, tapi emang gitu. #plak

Di 2014 ini, gue makin dibanjiri sama rejeki. Dua novel dan satu antologi cerpen keroyokan di-acc sama penerbit major. Dan gue juga publish tiga buku gue secara indie. Gue bisa launching buku gue sendiri :’)

Dan ketika orang-orang nanyain “Kapan punya pacar?” atau “Kok belum punya pacar?”, gue keinget kalau gue nggak nyantumin Punya pacar di resolusi gue tahun ini.

Yan ada di resolusi gue itu ya cuma tentang karier (cieee bahasanya!), akademik dan pendewasaan sifat. Itu aja. Kalau tentang relationship, gue cuma nulis, Single or taken? Dunno.

Hahaha, karena dari awal tahun pun nggak berharap banyak dengan kisah percintaan gue. #eaa Yang penting mah sekarang kuliah aja deh dulu sama kembangin nulisnya lagi.

Setidaknya, kalau beberapa tahun ke depan gue tetep jomblo, gue punya beberapa hal yang bisa dibanggakan selain status kejombloan gue. Iya nggak? Wkakakakakak.

Ngeluarin novel solo bisa dibanggain kan? Walaupun nggak ada yang beli sekalipun, setidaknya gue udah maju satu langkah dari orang-orang yang belum berani nulis. Hohoho.

Jadi… apa gue bakal nulis resolusi punya pacar untuk tahun depan?

Rasanya nggak.

[COMING SOON] “Phobia” – Yang kau takuti adalah apa yang kau cintai.

Phobia.
“Yang kau takuti adalah apa yang kau cintai…”

Phobia[2] copy

Penulis:

Assrianti (Penulis novel “Black Confetti”),

Catz Link Tristan (Penulis novel “Labirin” dan “Gerimis Bumi”),

Jenny Thalia Faurine (Penulis novel “Playboy’s Tale” dan “Unplanned Love”),

Mayya Adnan (Penulis novel “Proposal Of Love”),

Merry Maeta Sari (Penulis novel “Serendipity”, “Cinta Rasa Mie Instan”, dan “A Wedding After Story”),

Nima Mumtaz (Penulis novel “Cinta Masa Lalu” dan “Akulah Arjuna”), dan

Paramita Swasti Buwana (Penulis novel “Serendipity”).

Penerbit: Elex Media Komputindo
Terbit: 25 November 2014
Harga: Rp.44.800

Aku tidak pernah menduga, menjadi jujur dan menerima semua kekuranganku adalah jalan terbaik untuk melepas phobia ini.
Kehidupan memang tidak sempurna.
Tidak selalu sesuai keinginan kita.
Tak perlu takut menjadi tak sempurna.
Karena cinta akan mengubah kekurangan menjadi keindahan.

Phobia. Yang kau takuti adalah apa yang kau cintai…